Tanduran Walisongo di Tanah Jawa

Tanduran

Masyarakat Jawa yang hidup di desa pada umumnya bermata pencaharian bertani atau bercocok tanam. Tanduran yang dalam bahasa Indonesia berarti tanaman secara umum bisa berbentuk tanaman apa saja, seperti padi, palawija, sayur-sayuran dan sebagainya. Akan tetapi tanduran bagi masyarakat jawa secara khusus juga biasa diidentikan sebagai tanaman padi. Hal ini tentunya dikarenakan banyaknya areal persawahan di jawa pedesaan yang sebagian besar ditanami padi, hingga jawa pun termasuk salah satu lumbung padi di negeri ini. 

Dalam hal menanam padi, merawat sampai memanen padi banyak terdapat filosofi yang bisa kita ambil dan kita jadikan pelajaran. Kita tentu tidak asing dengan peribahasa 'Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk' yang berarti bahwa semakin tinggi ilmu seseorang maka akan semakin rendah hatilah dia.

Tanaman padi atau tanduran pari dalam bahasa jawa juga kiranya mengilhami para Walisongo ketika menyebarkan Islam di tanah Jawa. Ketika para Wali generasi awal datang ke jawa, masyarakat jawa telah hidup sebagai masyarakat yang memiliki budaya luhur. Para wali melihat bahwa budaya yang telah ada sudah mengakar kuat bagi masyarakat jawa. Pemaksaan kehendak dalam menyebarkan agama Islam pastinya akan menimbulkan sikap pemberontakan dan penolakan terhadap ajaran yang baru bagi mereka. Tanduran pari itulah yang kemudian mengilhami para wali dalam menyusun dan menggali strategi agar ajaran Islam dapat mudah diterima dan diserap oleh masyarakat jawa pada saat itu. 

Masyarakat jawa dengan budayanya pada saat itu ibarat sawah yang begitu luasnya. Sawah atau lahan itulah yang hendak ditanami dengan ajaran islam oleh para Wali. Hidup subur hingga panen atau matinya tanduran ajaran Islam ini secara teori tergantung pada mereka, yakni para Wali yang menanamnya. Sebagaimana tanduran padi, tanduran ajaran Islam juga akan hidup subur dan bisa dipanen jika dirawat dengan baik, diberi pupuk, bahkan juga disiram. 

Pada prosesnya, ajaran Islam yang hendak ditanamkan para Wali harus menghadapi masyarakat jawa yang penuh dengan budaya mistis, ajaran Hindu-Budha  dan bangunan kepercayaan Animisme-Dinamisme. Kepercayaan-kepercayaan ini masih tumbuh subur dan telah mengakar kuat dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. 

Ibarat sawah, tanah di jawa dan tanah timur tengah atau di Eropa atau bahkan daratan bumi lainnya pastilah bisa berbeda. Dari perbedaan ini, maka cara menanam dan perawatannya pun pastilah juga harus berbeda. Tanaman dapat tumbuh dengan subur salah satunya adalah dengan menyesuaikan bagaimana keadaan tanah yang akan ditanami, bagaimana pola musimnya dan sebagainya.

Dengan filosofi inilah Para Wali memandang bahwa Budaya yang ada di jawa tidak mungkin bisa diganti sepenuhnya dengan budaya dari bangsa lain. Maka sebagai jalan keluarnya adalah Islam harus dipadukan atau dikompromikan dengan budaya yang ada di jawa. Para Wali dengan kepiawaiannya menanamkan Islam dengan cara mempertemukan, memadukan dan menyesuaikan Islam dengan tradisi budaya yang telah menjadi jatidiri orang jawa. Pengkompromian ini dilakukan dengan cara mempertahankan tradisi-tradisi yang ada tetapi merubah praktek-praktek yang bertentangan dengan Islam dengan diisi ajaran-ajaran Islam. Cara ini bukan berarti membuat Islam keluar dari batasnya, karena justru dengan cara inilah, secara bertahap Islam dapat diterima sepenuhnya dan tumbuh subur dalam diri pribadi masyarakat jawa.

Banyak ritus milik orang jawa yang kemudian dimodifikasi dengan ditanami nilai-nilai Islam. Salah satu diantaranya adalah slametan. Slametan merupakan nilai yang sakral bagi masyarakat jawa, dilakukan sejak menyambut kelahiran seorang bayi, khitanan, pernikahan sampai pada kematian. Slametan yang sebelumnya sarat tradisi mitologis Hindu-Budha dengan berbagai macam sesaji, kemudian ditanami dengan diisi dengan pembacaan doa bersama dan bacaan-bacaan Al Quran yang dipimpin oleh seorang Kyai. 

Selain slametan ada juga nyadran. Nyadran adalah salah satu bentuk upacara untuk mengagungkan arwah leluhur dengan pemanggilan roh-roh halus dan mengadakan berbagai macam sesaji. Ditangan para Wali, nyadran yang dilakukan pada bulan Ruwah (Jawa) atau Sya'ban (Islam) pada prakteknya upacara ziarah dan tabur bunga tetap dijalankan, tetapi upacara pemanggilan roh kemudian diganti dengan pembacaan doa (tahlil) dan pembacaan ayat-ayat suci dari Al Qur'an. Nyadran juga dilakukan dalam rangka untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Dari segi bahasa juga banyak istilah yang berasal dari tradisi jawa pra islam yang tetap dipakai penyebutannya, hanya saja prakteknya yang telah dirubah dengan ajaran Islam. Orang jawa hingga sekarang masih banyak yang menyebut sholat dengan sebutan sembahyang. Sembahyang dalam arti secara bahasa berasal dari kata sembah Hyang yang artinya menyembah Dewa atau Tuhan. Para Wali tidak mengganti atau merubah sebutan sembahyang itu, tetapi mereka merubah praktek dari sembahyang itu dengan ibadah sholat yang secara esensinya juga bermakna beribadah kepada Tuhan yaitu Allah SWT.

Selain sembahyang, ada juga yang disebut puasa. Mungkin banyak yang tidak tahu bahwa sebutan kata puasa pada asalnya adalah berasal dari kata bahasa jawa sansekerta 'upawasa' yang berarti mendekat pada Tuhan dengan brata (pengendalian diri) yang mesti dilakukan umat Hindu pada Siwaratri. Upawasa juga dilakukan dengan tidak makan dan tidak minum apapun selama sehari semalam pada hari itu juga dengan melaksanakan tapa brata. Ketika Islam datang, sebutan puasa yang berasal dari kata upawasa tersebut pada prakteknya diganti dengan praktek ibadah yang dalam bahasa arab disebut shiyam atau shoum. 

Dari segi seni dan budaya kita juga mengenal Seni Wayang. Seni Wayang yang sudah ada sebelum zaman pra Islam juga mengalami modifikasi dengan dimasukannya ajaran-ajaran Islam ke dalam seni pertunjukan wayang. Wayang sebagai seni hiburan masyarakat jawa juga berisi tuntunan mengenai gambaran kehidupan manusia.

Selain wayang ada juga seni Tembang Macapat. Karya sastra jawa pada asalnya berisi ajaran-ajaran mistik yang juga berupa mantra-mantra yang bersumber dari ajaran Animisme-Dinamisme dan Hindu-Budha, tetapi melalui tembang macapat, karya sastra yang dibuat para Wali ini berisikan ajaran-ajaran Islam yang luhur. Selain itu dalam tembang macapat juga berisi pitutur mengenai kehidupan manusia dari sejak lahir hingga datangnya kematian.

Itulah diantara kreasi Para Wali dalam usahanya menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat jawa. Tentunya masih banyak hasil kreasi mereka yang lain dalam upaya menumbuhsuburkan ajaran Islam di tanah jawa. Sebagai hasilnya, Islam ternyata telah mewarnai hampir seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat jawa. Kini, 'tanduran' Islam telah tumbuh subur di jawa, bahkan dalam lingkup lebih luas, Islam juga menjadi agama mayoritas penduduk Indonesia. Tepatlah kiranya apa yang disenandungkan Sunan Kalijaga dalam syairnya :

Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo…
Labels: Seni Budaya

Thanks for reading Tanduran Walisongo di Tanah Jawa. Please share...!

0 Komentar untuk "Tanduran Walisongo di Tanah Jawa"

Terima kasih telah berkunjung ke blog saya, silahkan berkomentar dengan sopan. Maaf, Komentar berisi Link Aktif, Promosi Produk Tertentu, J*di, P*rn*, Komentar berbau SARA dan Permusuhan, tidak akan dipublish.